Selasa, 07 Desember 2010

UNTUKMU PMR.....



TRUE STORY BY : ENAH SUKMANINGSIH


Puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Illahi Robby yang senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya ingin berbagi pengalaman pahit yang pernah saya alami selama masa remaja saya. Saya berharap dengan membaca tulisan ini pembaca bisa menarik hikmah dan lebih bersemangat untuk mengahadapi segala masalah hidup.

Saya adalah putri dari keluarga pegawai negeri yang sederhana. Saya mempunyai lima saudara kandung. Dari kecil orang tua saya selalu menanamkan kedisiplinan dn ketaatan dalam hal agama. Ayah saya juga cukup disegni di lingkungan saya.

Masa kecil saya sebenarnya cukup bahagia, walaupun lain dari yang lain. Saya tidak pernah bergaul dengan teman-teman sedesa saya. Saya biasa menghabiskan waktu bermain di rumah. Hal ini tetap berlangsung sampai saya remaja. Tidak heran saya jadi minder, pemalu dan kuper. Tetapi untungnya saya berani ngomong dalam hal pelajaran, karena memang ayah dan kakak saya selalu membimbing saya. Sebenarnya saya seorang anak yang tergolong periang dn pandai bergaul.

Sifat periang dan pandai bergaul itu mulai terlihat ketika saya masuk SMP. Saya senang bersahabat dan dekat dengan guru-guru. Sebenarnya setelah lulus SMP saya ingin sekali masuk SMU dan kuliah. Tapi karena saya tidak bisa masuk SMU favorit, ayah mendaftarkan saya ke SMEA Negeri Cirebon. Di SMEA N Cirebon saya langsung bisa akrab dan punya banyak kenalan, baik kakak kelas maupun teman-teman seangkatan. Untuk pertama kalinya aku senang dan bahagia karena punya banyak teman. Di SMEA N Cirebon saya memilih organisasi PMR, karena saya menyukai pengobatan dan hal-hal yang bersifat kemanusiaan.

Namun saat-saat menyenangkan itu hanya berjalan beberapa bulan saja, sebelum kabut tebal menyelimuti masa remaja saya. Entah apa sebabnya saya jadi sering sakit, bahkan pingsan. Padahal sejak kecil saya belum pernah pingsan. Hampir setiap hari saya pingsan dan masuk UKS. Orang-orangpun mulai membicarakan saya dan memandang saya, kalau tidak dengan pandangan jijik, ya dengan pandangan sinis atau kasihan. Keceriaanku pun mulai hilang, saya mulai minder sampai sakitku bertambah parah dan masuk rumah sakit.

Saya masih ingat, saat saya masuk rumah sakit seorang suster langsung menusuk tanganku dengan jarum infus dan memberi oksigen. Saya merasa kalau saya tidak akan hidup lama lagi. Saya putus asa dan tidak bersemangat. Namun rupanya Allah masih menghendaki agar saya hidup. Setelah infus dan oksigen itu lepas, saya mulai belajar berjalan. Selangkah demi selangkah saya berjalan dan diijinkan pulang oleh dokter.

Tapi hal aneh terjadi. Sesampainya di rumah saya kembali tidak bia berjalan. Saya hanya berbaring di tempat tidur. Sampai akhirnya kondisiku bertambah lemah, saya susah bernafas, sakit sekali. Saya kira waktuku sudah tiba. Saya ingin minta maaf pada orang tuaku, pada saudara-saudaraku, tapi saya tidak bisa. Semua orang di dekatku menangis. Saya masih bisa mendengar jeritan do'a ibuku, "Ya, Allah ! Ampunilah anakku. Jangan Kau siksa dia lagi! Kalau Engkau mau menyembukandia sembuhkanlah, Ya Allah! Dan jika Engkau menginginkan anakku kembali pada-Mu, mudahkanlah." Semua keluarga berkumpul dan menangis. Kemudian ayah menyuruh kakak dan adikku untuk membaca Surat Yasiin, untukku, agar saya diberi kemudahan.

Ketika mereka baru membaca Surat Al-Fatehah, saya menjerit sangat keras. Saya mencoba menutup telingaku. Namun saya tidak bisa, sampai saya pingsan karena kehabisan tenaga. Setelah tahu sakitku tidak wajar, ibu menyuruh kakak memanggil uwa yang kebetulan mengerti masalah gaib. Uwa bilang kalau saya sudah lama diguna-guna orang dengan bantuan jin.

Beliau memang bisa melepas guna-guna dari tubuhku, namun tidak bisa mengusir jin pengganguku. Akhirnya ayah minta bantuan guru kebatinan paman yang memang bisa mengusir jin jahat. Alhamdulillah, usaha guru paman tidak sia-sia. Beliau berhasil mengeluarkan jin itu dengan paksa.

Setelah tahu kalau saya diguna-guina orang, saya jadi tidak tenang dan penakut. Saya trauma, malu dan minder. Namun keluarga, sahabat dan wali kelas menghiburku dan memberiku semangat. Kondisiku sudah mulai membaik walau masih lemah.

Setelah hampir satu bulan saya tidak sekolah, saya mencoba masuk sekolah kembali. Namun rupanya kondisi tidak kuat. Pada jam pertama saya pingsan dan kembali di rawat di rumah sakit. Setelah satu minggu di rumah sakit, saya pun diijinkan pulang, tapi dokter menganjurkan saya istirahat total selama satu bulan di rumah.

Sampai CAWU II berlangsung saya masih sakit. Wali kelas pun datang menjenguk dan menghiburku, katanya saya masih bisa mengejar ketinggalanku tahun depan. Setelah mendengar nasehat wali kelasku, saya bukan bertambah tenang. Saya sedih, kecewa dan pikiranku bertambah kacau. Ayah rupanya mengerti keinginanku. Ayah kemudian ke sekolah dan bicara dengan kepala sekolah dan guru-guru. Alhamdulillah, guru-guru mendukungku karena waktu saya belajar dulu sya aktif di kelas dan dekat dengan beliau-beliau.

hari-hari pertama saya sekolah, saya sibuk mengikuti tes sususlan. tidk diragukan lagi, nilaiku anjlok. padahal CAWU I saya bisa masuk sepuluh besar. namun saya tidak kecil hati, saya terus berusaha. ayah melarang saya ikut organisasi, tapi saya sudah jatuh cinta pada PMR, apalagi setelah saya sakit. saya tetap ikut PMR walau tidak secara langsung. akupun mulai bisa bernafas dengn tenang, tapi rupanya Allah masih tertus mencobaku.

Saya menjadi sering dimasuki jin walau bisa dengan cepat ditangani. Sampai guru paman mengangkatku jadi anaknya, saya tetap diganggu. Orang tua kandung dan angkatku sepakat untuk mengganti namaku. Sayapun resmi berganti nama, tentu saja dengan dilengkapi bubur merah plus bubur putih dan nasi kuning. Namun keadaan tidak berubah.

Ayah lalu menitipkan saya ke orang pintar lain atas saran dari sahabatnya. Sayapun tinggal di rumah orang pintar itu dan saya kembali diangkat sebagai anaknya.

Selama masa terapi, sekolahku jadi kacau. Saya sering tidur di kelas karena kurang tidur. Bayangkan saja, di rumah itu saya tidak boleh tidur kurang dari jam 12 malam dan harus bangun jam 1 malam untuk shalat dan ngaji sampai subuh. Setelah itu saya tidak punya waktu untuk tidur karena saya harus ke sekolah. Pulang sekolah saya harus membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Nilai rapotku kembali anjlok. Tapi untunglah saya hanya tinggal selama 4 bulan di sana. Saya hampir tidak pernah diganggu jin lagi.

Walaupun setiap hari saya mendengar ejekan , hinaan dan omongan yang sangat tidak enak di dengar disertai dengan pandangan sinis, jijik, takut dan kasihan, saya tetap berusaha kuat. Saya berusaha menerima semuanya dengan hati yang lapang. Saya juga tidak meninggalkan organisasi PMR. Justru sebaliknya, saya tambah aktif. Karena organisasi PMR-lah saya merasa berguna, merasa dibutuhkan. Saya terus mencoba untuk tetap otimis dan tidak menyerah pada nasib.

Untuk itu saya harap kepada anggota PMR agar tidak menyia-nyiakan kesempatan apalagi bermain-main dengan organisasi PMR. Jadikan hidup kalian lebih berharga, terutama bagi mereka yang diberi kesehatan dn kekuatan fisik oleh ALLAH SWT.

Saya ucapkan terimahkasih sebanyak-banyaknya kepada rekan-rekan pengurus PMR masa bakti 1997/1998 yang telah memberiku kesempatan, juga kepad para alumni PMR. Saya bangga jadi anggota PMR. INTER ARMA CARITAS !!!!!

Plumbon, 26 September 1999

ENAH SUKMANINGSIH Cirebon, 25 maret 1981 Alumni PMR Angkatan Ke-XII Desa Kesugengan Kidul RT 06 RW 02 No.39 Blok Watukruyu Kec. Plumbon Cirebon 45155

TERIMA KASIHKOE


TRUE STORY BY :YOYO SULASTRIYAH

Ini merupakan pengalaman saya beberapa tahun yang lalu. Hari itu adalah hari Sabtu, tepatnya tanggal 12 Februari 1994 pukul 06.30. Semua umat Islam di seluruh dunia sedang menjalankan ibadah puasa untuk hari yang pertama. Seperti tahun-tahun yang sudah saya selalu berjalan-jalan bersama teman-teman seusai mengikuti kuliah subuh. Di perjalanan saya melihat anggota PMR berkacu kuning sedang latihan cara membawa orang sakit dengan mengunakan tandu, spontan saya dan teman-teman mentertawakan mereka dan mengejek.

Saya : "Eh, teman-teman coba kalau saya aja yang digotong kan lebih enak, ya nggak?!

Teman-teman semua tertawa, dan tiba-tiba saah satu teman saya dengan tidak sengaja menginjak sandal yang saya pakai. Sandal itu terlempar sampai ke tengah jalan. Karena saya dan teman-teman sedang bercanda, tanpa melihat situasi saya langsung berlari ke tengah jalan untuk mengambil sandal. Dan...ketika saya sadar ternyata semua yang saya lihat putih , ya hanya warna putih yang saya lihat, dan bau.....bau yang sangat saya benci ternyata bau obat.

Setelah saya mengerjapkan mata berkali-kali ternyata saya berada di sebuah ruangan yang serba putih. Hati saya bertanya-tanya berada di manakah saya? Dan auw...sakit, sakit yang teramat sangat, dan ternyata kaki saya..... Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan kaki saya? Begitu sakit dan berat.

Dalam keadan yang masih bingung tiba-tiba terdengar pintu terbuka dan muncullah seorang perempuan dengan menggunakan gacu berwarna kuning. Ya, Tuhan, dia khan... Ya, dia adalah anggota PMR yang tadi pagi sedang latihan. Hati ini rasanya teramat perih mengingat apa yang saya lakukan tadi pagi. Dalam keadaan seperti itu, perempuan itu tersenyum manis menentramkan hati saya, lalu perempuan itu berkata," Dik, sudah jangan menangis, toh kita sudah menggotong Kamu sesuai dengan keinginanmu tadi, iya khan?"

Mendengar kata-kata itu saya langsung menangis karena mengingat kata-kata ejekan yang telah saya lontarkan tadi pagi. Semenjak kejadian itu saya mulai sadar pada apa yang telah saya lakukan selama ini. Saya sadar selama ini rasa kemanusiaan saya amatlah kurang. Dan yang telah membuka pikiran gelap saya itu adalah PMR dan kejadian yang telah menimpa saya, sampai kaki saya harus ditopang dengan sebuah pen untuk membantu kekuatan tulang saya.

Semenjak itu saya bersahabat dengan anggota PMR yang pernah saya ejek, dan saya berjanji untuk mengikuti kegiatan PMR di SLTP nanti dan SMU, walaupun saya mengikuti latihan PMR dengan menggunakan kursi roda selama 3 (tiga) bulan.

Terim kasih, PMR! Karenamulah hati saya terbuka akan semua kekhilafan saya yang telah melalaikan arti dari rasa kemanusiaan.

YOYOH SULASTRIYAH
Cirebon, 1 April 1981
SLTP Negeri 1 Cirebon
Anggota PMR Kel. SMK N 1 Cirebon Barat (sekarang SMK N 1 Kedawung)
Angkatan ke-XIII
Jalan Kalijaga No.140 RT 07 RW 03
Karang Dawa Barat
Cirebon 45113

SENTUHAN DI TENGAH JALAN



TRUE STORY BY : EVI DAMAYANTI

Ini merupakan pengalaman saya. Hari ini saya hendak ke rumah teman yang bertempat tinggal di Jalan Pancuran. Saya ke sana naik becak. Waktu itu saya telah berada di Jalan Selamet Riyadi. Saya melihat seorang kakek hendak menyebrang. Saya sangat tersentuh dan ingin membantunya. Kenapa begitu? selain kakek itu sudah tidak kuat berjalan, dia buta. sambil menggunakan tongkatnya dia mencoba menyebrang, kebetulan dia berada di pinggir trotoar.

Waktu melihat kejadian tersebut, saya langsung menyuruh abang becak untuk berhenti, kemudian saya mendekatinya.
Saya : "Kek, apa kakek hendak menyebrang?"
kakek : (rupanya dia budeg/ agak tuli, maklum udah tua)
Saya : Akhirnya saya memegang tangannya dan membantu menyebrangkannya.
Kakek : (setelah disebrangkan) "Aduh, kesuwun (terima kasih) nok!"
Saya : "Sama-sama"
Saya : "Kek, mau ke mana?"
Kakek : (Diam ajah...)
Saya : Akhirnya saya mengerti bahwa si kakek nggak ngerti bahasa Indonesia.
Saya : "Kek pengen mendi?"
Kakek : "Embuh, ya langka tujuan." (Oh iya sambil bicara dia nangis! Spontan lho saya juga nangis. lalu kasih dia uang, ya cukuplah buat beli nasi).
saya : "Pak polisi (kebetulan di situ ada polisi), tolong kakek ini!"
Pak Polisi : "Ada apa Neng" (lalu saya ceritakan). "Kamu berhati Mulia, Nak."

Nah mulai saat itu saya bertekad untuk masuk ke dalam orgnisasi PMR. Saya ingin melatih jiwa kemanusiaan saya.

EVI DAMAYANTI
Cirebon, 21 Desember 1980
SMP Negeri 3 Cirebon
Jalan tambas I RT 01/02 No.321
Desa Adi Darma - Cirebon Utara

Minggu, 05 Desember 2010

SENTUHAN DARI YANG TERSISIH



True Story by : NENG SRI SUKAESIH


Ini adalah kisah atau pengalaman saya sewaktu pulang sekolah. Seingat saya, pada waktu itu saya masih duduk di kelas dua SLTP.

Sewaktu saya sedang menelusuri Jalan Sunyaragi, di mana saya tinggal, ada suami istri dengan anaknya memanggil saya.

Mereka menanyakan panti jompo; Dan kebetulan saya tahu panti jompo yang mereka maksud. Dengan suka rela saya mengantarkan mereka. Dalam perjalanan saya banyak bercakap-cakap. Walau bahasa antara saya dan mereka berlainan (saya berbahasa Indonesia, sedang mereka berbahasa jawa Cirebon) tapi kami saling mengerti. Saya sudah lupa tentang percakapan antara saya dengan sepasang suami istri yang ingin ke panti jompo tersebut, yang saya ingat hanya kata-kata sang suami yang begitu membuat hati saya tersentuh.

Sebelumnya saya memang tidak menanyakan untuk apa mereka ke panti jompo yang letaknya jauh dari tempat tinggal mereka (kalau tidak salah mereka dari kampung luar Cirebon).

Kebetulan panti jompo tersebut jalannya melewati rumah saya. Saya menawarkan kepada mereka untuk singgah sebentar setelah perjalanan jauh, tetapi mereka menolak dengan alasan rindu.

Ya, mungkin mereka rindu dengan orng tua mereka yang mereka titipkan di panti jompo. Di dalam hati saya bertanya, bila mereka benar-benar menyayangi orang tuanya mengapa harus dititipkan di panti jompo, di luar kota lagi. Tetapi pertanyaan itu saya pendam karena takut menyinggung perasaan mereka. Jalan ke panti jompo sudah dekat dan saya beranikan diri untuk bertanya dan membuat perkataan sehalus mungkin agar mereka tidak sakit hati dengan pertanyaan saya.

Ketika itu saya bertanya siapa yang ingin mereka jenguk di panti jompo. Tahukah, perkataan apa yang mereka sampaikan ? Sungguh diluar dugaan saya, bahkan sangat jauh sekali. Bapak itu berkata dengan wajahnya yang tidak dibuat-buat, "Tetangga, Neng. Beli due sedulur, bapae wong melarat, jadi dititipnang ning jompo. Mauwe dititipnang bari anake kang wadon."

Ya, Allah! batin saya langsung menjerit. Tetangga mereka yang dijenguk dengan oleh-oleh memang tak seberapa tetapi jauhnya jarak rumah mereka dengan panti jompo. Sungguh besar kepedulian mereka dengan tetangga yang sudah tua renta, yang dicampakkan oleh anak perempuannya. padahal mereka bukan orang kaya. Masih adakah orang kaya yang peduli dengan hal demikian? Akankah saya dapat bersifat seperti mereka???

Pertanyaan itu telah menyelimuti batin saya, sampai saat saya menulis cerita ini dan mungkin sampai kapanpun akan saya ingat dan tidak akan saya lupakan peristiwa ini.

NENG SRI SUKAESIH Kelas I MB 1 SMK N1 Cirebon barat (sekarang SMK N 1 Kedawung) Jln. Sunyaragi Gg. Si Adem No.48 Cirebon

Rabu, 22 September 2010

PENDATAAN ANGGOTA PMR




MAS MAMAN


MAS ADJI SUBADA

POS BAHAYA UDARA



POS TEBING TINGGI


P3K L




BENDERA PMR

PELANTIKAN PMR WIRA


PENCATA




BAR VERSI FOTOCOPY